Huraina Mutiara Kamila

0 komentar

Waktu itu Sabtu, 8 Desember 2012 jadwal prenatal check-up yang ke-9. Seperti biasa kami pergi sore ba’da ashar, sebelumnya kami bersih2 rumah dari es yang menempel di lorong jalan rumah kami. Sesampainya di rumah sakit, aku seperti biasa cek tensi dan berat badan, kali ini puncaknya sungguh membuat jantungku deg degan, tensi ku 170 an. Beberapa kali suster memeriksa tensi ku secara manual. Hasilnya tetap tinggi 160 an. Dokter lalu menyatakan aku kini positif dalam kondisi preeklamsia, karena selain tensiku tinggi diatas 140, juga karena ditemukan protein di urinku tingkat 2. Kenyataan janinku tidak berkembang dengan baikpun merupakan bukti lain aku berada dalam kondisi preeklamsia. Aku lemas, jantungku berdegup kencang, karena aku sudah baca banyak literature tentang preeclampsia, bahayanya dan akibatnya sangat fatal bisa menyebabkan kejang bahkan koma dan meninggal bagi ibu juga bayi. Na’udzubillah, sesering mungkin aku tepis pikiran buruk itu.
Lalu dokter menganjurkanku untuk rawat inap, karena ia akan mengobserve  urinku selama dua hari kedepan. Jika positif urinku mengandung protein, maka aku akan diinduksi demi menyelamatkan janinku.
Sabtu malam itu aku didaftarkan sebagai pasien dan harus bed rest di lantai 6, kami memilih ruangan dengan 4 orang pasien lainnya karena gratis, ternyata di kamar itu tak ada pasien lain, serasa milik sendiri kamar sebesar itu. Suamiku tidur di lantai malam itu, ia sempat pamit ba’da isya untuk pergi ke super market Homeplus membeli makanan dan kebutuhan yang lain. Sepulangnya aku dibelikan dua buah sepatu winter yang sangat bagus. Satu pasang boots coklat muda dan kets putih ungu. Jazakumulloh..kuucapkan padanya. Lalu malam itu yang seharusnya aku bisa bed rest, otakku melayang2 memikirkan preeklamsia. Kenyataan bahwa aku mengetahui tentang keburukan preeklamsia makin membuatku susah tidur dan memicu tensiku makin tinggi. Belakangan setelah melahirkan dokter memberitahuku kalau kegalauan dan kegelisahan juga merupakan salah satu sindrom preeklamsia. Ya Alloh, beberapa kali suster mengecek tensiku tetap tinggi. Sampai jam 4 subuh aku tak bisa tidur, aku putuskan membangunkan suamiku dan memintanya menelpon suster. Suster datang lalu memanggilkan dokter. Aku  keluhkan sakit kepala bagian depan kepalaku padanya (karena lagi-lagi sakit kepala bagian depan kepala adalah salah satu dari beberapa gejala preeklamsia), dokter terlihat khawatir. Lalu dia memutuskan agar aku segera diinduksi.
Subuh itu sekitar jam 5,aku dibawa ke ruang khusus bersalin. Beberapa suster menanyakanku ini itu dalam bahasa korea yang semakin membuatku bingung. Diantaranya ada yang bertanya tentang riwayat kesehatan, yang lainnya ada yang bertanya tentang rencana imunisasi bagi bayi, makanan yang pantang kami makan, susu formula gratis yang akan dipilih, serta kamar bersalin yang privasi atau umum. Dengan bahasa korea yang patah-patah aku dan suamiku menjawab pertanyaan mereka satu per satu. Lalu tiba saatnya suster memberiku obat yang memicu kontraksi, inilah ternyata yg dinamakan kelahiran induksi. Dokter menyatakan obat itu akan diberikan padaku tiap empat jam sekali selama 24 jam tepatnya hingga esok subuh.
Obat pertama hanya memberikan efek mulas seperti mulas haid, sangat dapat kutolerir. Lalu obat selanjutnya juga masih mulas sedikit, lalu obat selanjutnya tingkat kemulasannya meningkat walau hanya sedikit. Lalu yang selanjutnya mulasnya sama, tetap sama tidak meningkat. Sampai datanglah waktu tengah malam badanku malah menggigil, demam. Aku katakan pada suster yang bertanya apa kah kontraksiku meningkat? Aku malah mengabarkan padanya bahwa aku demam, badanku dingin sangat terasa. Lalu ia memberiku obat demam. Aku lemas sekali, badanku lemah, aku kehilangan tenaga dan semangat, apalagi ditambah dokter yang mengabarkan kadar protein dalam urinku tinggi yaitu sudah di tingkat 4. Aku secara resmi dan positif mengidap preeklamsia. Dan kabar yang paling mengagetkan adalah bahwa jika kontraksi tidak juga muncul, maka terpaksa aku harus dioperasi atau kata lain aku harus melewati kelahiran dengan jalan Caesar.
Malam paling menegangkan dalam hidupku dan mungkin juga suamiku, kami berempat, Alloh, aku, suamiku dan janin yang  ada dalam kandunganku, berada di kamar bersalin, gelap hanya pelukan satu sama lain yang menghangatkan disertai lantunan doa yang tak lepas kami panjatkan. Tak lupa sms dikirim kepada orang tua dan sanak saudara kami di tanah air, dengan harapan mereka juga mendoakan dan meminta yang terbaik kepadaNya.
Sekitar pukul empat subuh, seorang suster kembali memeriksa kandunganku. Ia mengabarkan kalau sudah ada pembukaan satu yaitu sekitar 2 cm. antara ragu dan bahagia aku mendengarnya, ragu karena perjalanan dilation atau pembukaan bukan berakhir di pembukaan satu melainkan di pembukaan sepuluh, rasanya aku sudah tidak punya lagi “bekal” energi untuk menempuh perjalanan sejauh itu, perjuangan ini masih harus berlanjut walau dengan sisa bekal yang seadanya. Kini perjuangan itu terasa tamah berat ketika penglihatanku seperti terasa lain dari normalnya yaitu aku tidak bisa melihat dengan fokus, seperti ada bayangan di kedua sisi mata ku. Tapi aku harus kuat demi janin yang telah menunggu selama kurang lebih 36 minggu dalam rahimku.
Jam demi jam berlalu, menit demi menit berjalan, dan detik demi detik seperti terbang begitu saja. Kontraksi yang aku rasakan makin lama makin kuat. Lalu sekitar jam setengah enam kami solat subuh berjamaah dengan kondisiku berbaring sambil merasakan kontraksi aku solat memohon pertolongan dan kekuatan dari yang Maha Kuat. 
Lalu dokter memeriksa kandunganku lagi, "In two hours you'll be seeing your baby." Seperti mimpi aku mendengarnya, aku menyangka proses pembukaan itu akan berlangsung seharian penuh lagi, aku kira pembukaan penuh sampai melahirkannya malam nanti, dan jika itu takdirnya aku harus mengaku kalah dan angkat tangan menyerah karena aku benar-benar kehabisan tenaga. Tapi tak disangka ternyata dalam dua jam kedepan, aku dan suamiku insyaalloh akan bertemu dengan putri kami, putri yang dilahirkan dengan proses perjuangan dan hanya ada kami berdua, tak ada orangtua atau keluarga yang hadir menemani, hanya do'a merekalah yang mewakili keabsenan mereka.
Tepat pukul 8.14 pagi waktu Korea Selatan bagian kota Cheongju, ia lahir ke dunia, untuk pertama kalinya menghirup udara bumi, untuk pertama kalinya bertemua khalifah/manusia lain; dokter Choi, para suster dan tentu saja kami, orangtuanya. Untuk pertama kalinya pula kami mendengar suaranya, tangisannya memecahkan keheningan karena tegang selama tiga hari dua malam ke belakang. 
Subhanalloh, walhamdulillah, walaailahaillalloh, wallohuakbar. Dzikir ini hanya sedikit mewakili syukur kami atas anugerahMu yang tak terhingga; amanah yang berat sekaligus indah, karunia yang terbaik sekaligus tersulit, oleh karena itu tambahkan lah kesabaran serta kekuatan dan juga ilmu, petunjuk dalam merawat menjaganya; menjaga Huraina Mutiara Kamila.

Welcome to the jungle, hon!