JIKJI (Part 1)

"Hah, beneran kamu belum pernah ketemu calon suamimu?" tanya seorang teman yang aku percayakan menceritakan sebuah kisah cinta yang bagi kebanyakan orang sangatlah absurd. "Hebat ya, jaman modern gini masih ada yang mau nikah tanpa ketemu satu sama lain. salut, salut.." pujian kah? kesan ragu dan underestimate jauh lebih kental terasa dari cara ia berkata-kata serta raut mukanya yang ia pancarkan. Perasaan yang telah dipupuk hanya selama 2 bulan lebih sedikit ini (mulai Mei awal sampai Juli awal ketika terjadinya lamaran tertanggal 10 Juli 2011) sangatlah gampang tergoyahkan. Di sisi lain ada pembelaan, "ah dia kan tidak mendalami agama sedalam aku, aku dan dia memutuskan dan menjalani hubungan ini berdasarkan solat istikharoh" lirihku mengobati rasa cemas dan was was yang ditularkan beberapa orang yang ragu, mencibir dan memandang sebelah mata ikhtiar kami ini.
Ya, ikhtiar kami mencari karunia Alloh dalam hal pasangan hidup dimulai awal Mei silam ketika seorang rekan kerja yang kebetulan kembali ke tempat kerja kami untuk mengisi waktu liburannya di Bandung, berarti dia hanya mengajar untuk satu term (tiga bulan) saja waktu itu. Kebetulan rumah kami satu arah pulang. Diawali dengan bincang-bincang ringan selama di angkot ketika pulang kerja, sekitar dua/tiga minggu berikutnya dia bertanya "Udah punya calon belum?" calon suami tentu saja, masa calon majikan ;p "Kebetulan saya sedang menjalin hubungan serius dengan seseorang,bu" "wah tadinya saya mau kenalin teman saya yang sedang menempuh study S3 di Korea, usianya 32 tahun" begitulah takdir saat itu belum mengijinkanku mengenali seorang kandidat Doktor karena aku sedang menjalani hubungan serius dengan seseorang yang dikenalkan saudara. Lelaki yang dikenalkan saudaraku itu mengaku sedang mencari calon istri. ketika ia datang ke rumah, bapa dan keluargaku langsung saja berfikir ia seorang lelaki dewasa yang mempunyai niat baik mengenal seorang perempuan yang akan jadi calon istrinya beserta keluarganya.
singkat cerita, lelaki yang datang kala itu ke rumah dan mengenalkan diri kepada orang tua dan keluargaku dengan begitu simpatiknya, ternyata pergi tanpa jejak dan tanpa pamit ucap selamat tinggal sedikit pun. kecewa tentu saja, namun tidak ada kata putus asa bagi seorang muslimah sepertiku, dorongan dari ibu, bapa, adik serta teman-teman agar aku bangkit dan membuka diri bagi kemungkinan yang lain aku lakukan setelah benar-benar sembuh dari rasa sakit hati yang sangat dalam.
aku lalu teringat dengan rekan kerjaku yang waktu itu menawariku berkenalan dengan temannya yang sedang study S3 di korea. tak ada niat besar dan keyakinan yang tebal akan terjadinya suatu jalinan asmara apalagi pernikahan saat mengawali perkenalan dengannya. "Bu, temen ibu yang mau dikenalin sama saya waktu itu masih available nggak? saya udah putus dengan yang waktu itu" intinya seperti itu pesan singkat yang aku kirim padanya. "wah good news..saya akan hubungi dia y" balasnya. akhirnya suatu sore ketika pulang mengajar aku menerima satu pesan singkat "ass. ini dengan mba ratih ya?" ternyata itu dia. pesan berikutnya aku tidak takut mengultimatum dia dengan pesan singkat yang berisi "katanya lagi cari istri ya, kalo iya saya juga lagi cari suami. kita komunikasi beberapa bulan, jika cocok lanjutkan dengan menikah. gimana?" entah bisikan apa yang membuatku begitu berani. ya aku berani karena sebelumnya pernah jatuh tersungkur. walau ada seseorang yang bilang kegagalan kemarin adalah salahku yang terlalu cepat dan buru-buru mengenalkan laki-laki ke rumah bertemu orang tua, adik serta nenek malah, akan membuat laki-laki manapun kabur kocar kacir, lari terbirit-birit karena merasa tertodong nikah. satatement tersebut tidak membuatku melakukan hal yang sama, malah sebaliknya. aku tantang laki-laki berikutnya yang akan berkenalan denganku. aku tak peduli jika lelaki ini ternyata kabur juga, aku toh tak rugi apapun aku punya beberapa kelebihan yang bisa membuatku bangga dijadikan seorang istri dari seseorang, dan itu akan aku berikan hanya kepada orang yang berani melamarku hingga menikahiku. ditantang seperti itu ia menjawab "saya tidak cari istri karena belum punya istri, kalo mau cari istri kan tinggal cari di dapur atau di rumah pasti ada" hmm dahiku sempat berkerut-kerut membaca balasanya itu. ternyata dia hanya bercanda. kalimatku bertanya apa ia mencari istri memang diartikan apa adanya. anyway, yang penting kita punya niat yang sama.
komunikasi kami dijalin tidak hanya melalui sms, tapi juga email dan yahoo messenger. komunikasi kami berjalan seperti air mengalir. tidak ada jadwal rutin kami harus chatting. aku juga tidak mau diatur waktu itu. toh dia bukan (baca: belum) jadi orang yang berhak memerintahku.
sambil ikhtiar menjalankan komunikasi jarak jauh ini, kami yang lemah tak berdaya memohon bantuanNya dengan cara solat istikharoh. aku pikir orang yang jelas-jelas kita temui tatap muka saja jika memang ada yang ia sembunyikan dan Alloh menghendaki tidak mengungkapkan rahasia dibaliknya itu, tentu tidak akan terungkap hal-hal yang tersebunyi tersebut (baca: kebohongan). kami tak mempunyai referensi kecuali rekan kerja yang mengenalkan kami itu. itu pun hanya hal-hal yang umum saja serta hanya berkisar pada sifat kebaikan-kebaikannya. lalu kami pun benar-benar pasrah, percaya pada Alloh yang akan selalu menolong hamba-hambaNya yang sedang mencoba menolong agamaNya (mencari belahan jiwa yang pada akhirnya menikah yang merupakan sunnah Rosul).
komunikasi terus kami bangun sampai suatu hari aku menerima kartu pos dari Korea namun tidak tertera nama pengirimnya. di halaman belakang tertera hanya satu kata JIKJI. (http://en.wikipedia.org/wiki/Jikji)


to be continued...
P.S. Sahabat yang mengenalkanku dengan seseorang yang pada akhirnya menjadi suamiku, bernama Maya Defianty, seorang dosen Bahasa Inggris di  universitas tempat suamiku juga mengajar. Bu Maya dan aku dulu sama-sama mengajar di LBPP LIA Buah Batu, Bandung. Satu kata yang tak pernah akan aku lupakan yang maknanya sangat dalam ketika kami mengucapkan rasa terima kasih kami karena sudah menjadi wasilah/perantara terjalinnya hubungan suci antara kami, beliau hanya bilang "it's nothing.." simple yet meaningful, dimana keyakinan akan Kuasa Alloh terpatri dalam hatinya. Sekali lagi "terima kasih Bu Maya". Syukur kami padaMu ya Alloh tak akan pernah sirna.

0 komentar:

Post a Comment