Akibat Tak Bercermin

Cermin adalah alat untuk kita merapihkan penampilan diri kita agar lebih indah

Aku banyak belajar dari kisah ini, kisah dimana seorang wanita selama kurang lebih tiga tahun menjalin hubungan serius dengan laki-laki yang telah memiliki pekerjaan yang lumayan, dan sejak awal katanya mengaku memiliki visi dan misi ke depan untuk mengikat cinta mereka di depan bapa penghulu, tidak menjamin kebahagiaan. Aku dengar sendiri cerita memilukan dari mulutnya.
Aku sering mendengar kabar tidak mengenakkan dari kisah cintanya itu. Wanita itu selalu mengaku selama kurang lebih tiga tahun perjalanan cinta dengan pangeran pujaannya itu, ia diperlakukan dzalim oleh keluarga calon suaminya. Orangtuanya yang feodal, mengaku Islam tapi tak pernah solat fardu apalagi ibadah wajib dan sunnat yang lainnya, keras, angkuh, pencaci maki, mengancam akan bunuh diri jika ia bersih kukuh menerima lamaran sang anak laki-laki yang juga semata wayangnya, apalagi sampai ke pelaminan. 
Para tante serta rombongan anggota keluarga pihak laki-laki juga tidak kalah kalapnya. Mereka meneror si wanita melalui telepon, mengancam akan mendatanginya jika hubungan asmara mereka terus berlangsung. Mencapnya bukan wanita baik-baik dan bla bla bla.
Begitulah, selalu kabar yang bikin aku mengelus dada setiap kali ia curhat. Kasian dalam hatiku. Kenapa ia begitu malang? Tapi bukankah Allah SWT tidak akan menguji hambaNya diluar kemampuan. Namun di lain pihak aku juga sering herat bertanya apa sih yang jadi pemicu amarah mereka padanya. Kenapa sih keluarga si laki-laki begitu membencinya? Karena tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, kan? Ditanya seperti itu ia juga tidak tahu. Sounds extremely awkward, doesn't it?
"Iya, mas ini aku sekarang lagi di rumah saudara di Bandung. Ia udah dulu ya, assalamu'alaikum..Nah gitu tih kalau pacaran itu komunikasi harus di jaga, ya minimal sehari sekali telepon laporan apa aja kegiatan yang dikerjain hari itu."
Aku cuma bengong. Maklum aku amateur dalam masalah pacaran. Aku bukan tidak mau pacaran, tapi kepalang tau kalau pacaran cepat atau lambat pasti pegangan tangan dan kemungkinan bisa jadi lebih dari itu. Jika pacaran memeang seperti itu, jelas Allah SWT melarang hambaNya untuk mendekati apalagi melakukan zina. Aku juga kepalang tau kalau Rasul Saw lebih menyukai memegang bara api dari pada bersentuhan dengan yang bukan muhrim. Tadinya aku mau sampaikan hadist tersebut kepada wanita itu. Tapi tiap dia cerita yang menggebu tentang pacarnya dan betapa dzalimnya dan tertidasnya ia oleh orangtua sang pacar dan keluarganya, aku belum berani menyampaikannya. Padahal jelas kebenaran harus disampaikan meski satu ayat.
Sering aku melihat mereka layaknya orang pacaran yang tidak kenal agama (dalam hal ini Islam tentu saja) padahal si wanita bilang "Dia (pacarnya) tuh punya misi pingin punya keluarga yang berpedoman dengan AL - Quran & Hadis. Dia selalu belajar agama. Koleksi bukunya tuh buku - buku islam, peperangan jaman Islam, Hadist Buhkori & muslim, akidah islam, Al - quran" 
Lalu aku beranikan diri bertanya meski sebenarnya aku tahu jawabannya, apakah mereka suka pegangan tangan. Dia bilang suka. Aku lalu menjelaskan hadist Rasul tadi. Alih-alih menuruti perintah Nabi Saw itu, ia malah berdalih ia bukan manusia sempurna yang belum menjalankan perintah agama dengan sempurna. Aku jadi geli sendiri. Ia juga menjadikan alasan menikah untuk menhindari hal yang seperti itu. Dengan kata lain, selama tiga tahun menghindari zina dengan pacaran berduaan dan pegangan tangan. Astaghfirullahal'adzim. Na'udzubillahimindzalik.
Diingatkan lagi seperti itu, ia malah menuduhku menyerangnya. Menyerang? Loh kalau dia merasa diserang harusnya bukan olehku kan, tapi oleh Rasululloh Saw, sang manusia terbaik pilihan Allah SWT dan dijaminNya masuk surga. karena itu semua adalah ucapan belia bukan semata-mata aku ingin menyindirnya. Aku makin geli dibuatnya.
Aku makin cinta sama kekasih Allah SWT, Nabi Muhammad Saw yang sangat sangat berat ujiannya dalam menyampaikan risalah Illahi. Bukan lagi cacian yang diterima, tapi sampai darahnya sendiri dikorbankan demi menegakkan kalam Allah di muka bumi ini. 
Aku, baru menyampaikan satu ayatNya saja lalu ditolak mentah-mentah seperti itu, aku naik pitam. Lebih-lebih ketika dia mulai bercerita tentang kisah suami istri yang bercerai karena dahulu mereka hanya ta'aruf. Aku saja mungkin yang terlalu emosional yang mengartikan ucapannya itu tidak lain dengan "hati-hati" kamu juga dulu lewat proses ta'aruf kan? Dengan sedikit amarah aku juga menyatakan banyak yang mencibirku dulu ketika aku memutuskan menerima lamaran seorang laki-laki tanpa bertemu dahulu dengannya. Dengan eksplisit aku menyatakan bahwa dia juga pasti akan mencibirku seperti kebanyakan orang sepeti ia dulu menuduhku menodong seorang laki-laki untuk menikah. Lalu dengan polos aku bertanya apa dia takut bercerai dengan statementnya itu? Aku mencoba mengalihkan pembicarannya yang sangat terkesan menyindirku.
Jujur, baru kali ini aku benar-benar adu mulut dan sedikit bertengkar dengan seseorang yang tak lain masih kerabatku. Dengan teman atau orang lain saja aku tidak pernah, aku selalu menghindari perdebatan yang lebih akan menimbulkan konflik. Lagi pula pikirku buat apa sih kita bertengkar dengan oranglain hanya karena berbeda pendapat? Tiap orang di dunia ini, meski orang tua dan anak, adik dan kakak, nenek dan cucu, paman dan keponakan, suami dan istri, mustahil punya pemikiran yang sama persis, jangankan otak yang berbeda, sidik jadi saja dijamin tidak ada yang serupa. 
Aku tahu, diam-diam aku meragukan perbaikan dari hubungan kami ini. Entah apa pemicunya. Yang jelas aku kini sadar kenapa ia dulu sering bercerita tentang perlakuan semena-mena teman-temannya, atau ketika ia sering merasa dijauhi oleh teman-temannya. Kini aku tahu, saat aku terbakar amarah, aku hanya pantulan dari cerminan perilakunya padaku. 
Kini aku benar-benar merasa iba padanya, iba karena sampai ia menikah hari Jum'at kemarin, ia mungkin masih belum melihat cerminan perilaku dirinya yang dipantulkan oleh tindakan orang lain di sekitarnya. Ia mungkin masih menyalahkan pihak diluar dirinya yang menurutnya semena-mena, masih menyalahkan orang tua yang tidak merestuinya, padahal ia yang tidak mampu membuat orang lain merasa nyaman ketika ia berada di sekitar mereka. Membuatnya susah mendapatkan do'a dari orang lain. Aku sarankan ia segera bercermin, bercermin sangat lama.
Semoga kita selalu bisa melihat, membaca pantulan diri kita di cermin perilaku dan tindakan orang lain. Sehingga jika pantulan kita buram, gelap, berdebu, kita akan segera mengelapnya, membersihkannya. 
Cermin itu adalah hati. Ketika hati kita bersih, maka bersih pula mata, telinga, tangan, kaki, dan mulut kita.

0 komentar:

Post a Comment